Kamis, 23 Oktober 2014

Analisis novel “Student Hidjo” karya Marco Kartodikromo



“STUDENT HIDJO” PERINTIS SASTRA PERLAWANAN YANG DIPINGGIRKAN
Analisis novel “Student Hidjo” karya Marco Kartodikromo
Oleh. Fitria Ulfah, Ditri Lestari Sutopo, dan Dede Zakiyah
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang dibahas tidak sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari unsur intrinsik tersebut.[1]
Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, adalah sebuah novel yang ditulis pada dekade kedua abad 20, yaitu sekitar tahun 1918. Novel ini merekam semangat zaman kala itu, bersifat pergerakan bumiputera mencari sikap politik yang baru. Pada awal dari cerita novel ini menceritakan tentang Hidjo, seorang intelektual pribumi. Selain mengungkapkan kisah percintaan antar tokohnya, Mas Marco pun secara lugas menunjukkan keberpihakannya kepada kaum pribumi. Di sini  Ia memunculkan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia.
Student Hidjo mengguncangkan dunia kesusastraan saat itu. Mas Marco mengkontraskan kehidupan di Nederland dan Hindia Belanda. Selain itu, novel ini dianggap sebagai sebuah Sastra Perlawanan. Sastra yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka pada saat itu. Namun perkembangan novel ini mendapat hambatan. Dengan isinya yang melawan pemeritahan kolonial Belanda, Student Hidjo tidak lulus sensor dari penerbit Balai pustaka. Hal ini membuat Student Hidjo dianggap “bacaan liar” atau kesusastraan Indonesia yang tidak resmi. Sastra ini berjenis realisme sosialis.
Penelitian mengenai “bacaan liar” pernah dilakukan secara komprehensif oleh Edwina Satmoko Tanojo mahasiswi FSUI dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul Ciri-Ciri “Bacaan Liar”.
Dalam makalah ini, penulis akan menghadirkan sosok Marco Kartodikromo dan apa saja peranannya dalam pers dan pergerakan Indonesia. Selanjutnya penulis akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan “bacaan liar”, mengapa Student Hidjo digolongkan sebagai bacaan liar. Terakhir penulis akan coba menganalisis novel Student Hidjo dengan pendekatan struktural dan sosiologi sastra yang bertujuan untuk mengetahui unsur interinsik dari karya itu sendiri, juga peristiwa apa saja yang terjadi sekitar tahun 1918 yang berkaitan dengan kisah dalam novel tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sosok Marco Kartodikromo dan peranannya dalam pers dan pergerakan Indonesia?
2.      Bagaimana sebuah bacaan dapat disebut sebagai “bacaan liar”?
3.      Bagaimana analisis novel Student Hidjo menggunakan pendekatan struktural dan sosiologi sastra?
4.      Bagaimana konflik sosial yang terjadi di dalam naskah Student Hidjo?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui sosok Marco Kartodikromo dan  perananya dalam pers dan pergerakan Indonesia
2.      Untuk mengetahui bacaan yang termasuk dalam “bacaan liar”
3.      Untuk mengetahui analisis novel Student Hidjo menggunakan pendekatan struktural dan sosiologi sastra
4.      Untuk mengetahui konflik sosial yang terjadi dalam naskah Student Hidjo

D.    Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan metode pustaka yang berhubungan dengan Student Hidjo dan “bacaan liar”.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Marco Kartodikromo
Mas Marco Kartodikromo, kelahiran Cepu (Jawa Tengah) tahun 1890 dan meninggal dalam pengasingan di Digul (Irian Jaya), 18 Maret 1932. Dia pernah menjadi Sekretaris Sarekat Islam Solo, dan ikut mendirikan Inlandsche Journalisten Bond bersama Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Sosrokartono. Pernah bermukim di Negeri Belanda tahun 1916-1917 dan beberapa kali dipenjarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda karena perjuangannya sebagai tokoh komunis.[2] Karyanya : Mata Gelap (novel, 1914), Sair-Sair Rempah (kumpulan sajak, 1918), Student Hidjo (novel, 1919), Rasa Merdika (novel, 1924), dan Cermin Buah Keroyalan (novel, 1924).[3]
B.     Sinopsis Student Hidjo
Kisah diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.
Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.
Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.
Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak "setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia.

C.    Bacaan Liar
D.    Analisis Struktural Novel “Student Hidjo”
Pendekatan struktural adalah
a.       Tema
Novel Mas Marco “Student Hidjo” diterbitkan di luar Balai Pustaka, bertema borjuis-kolonialis yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial, terutama dari pandangan sosialis. Ini berbeda dengan semangat kritik para penulis Balai Pustaka yang lebih empirik, yakni membahas soal kebiasaan lama sepanjang itu menyangkut kepentingan zaman baru (percintaan dan perkawinan).[4]

Masalah kekayaan, pangkat, jaminan hidup, yang rupanya mulai menjadi nilai material penting dalam hidup masyarakat modern, yang tumbuh tahun 1920-an dan 1930-an, tercermin dalam ungkapan intelektual para pengarang Indonesia.[5]    

“Di depan Sriwedari, orang-orang yang hendak membeli karcis masuk sudah beribu-ribu. Meskipun begitu Raden Hidjo bisa mendapatkan karci lebih dahulu. Karena ditolong Oppas yang bertugas dikeramaian itu.”

Tema pada karya-karya Mas Marco, kritik sosial muncul lebih galak dan tajam. Ia tidak mempermaalahkan sikap generasi tua modern yang “borjuistis” atau generasi tua yang “gila pangkat”, tetapi lebih pada sistem kolonial yang kapitalistik dan borjuistik. Tidak heran kalau novel-novel begini kurang berkembang dan digolongkan “bacaan liar” oleh aparat kolonial.[6] Sistem kolonial yang kapitalistik dan borjuistik dalam novel “Sudent Hidjo” digambarkan dengan perubahan watak dan sikap tokoh orang Belanda yang setelah berada di Indonesia mereka menjadi sombong dan merendahkan derajat orang Indonesia, padahal di negeri asalnya mereka adalah orang rendahan.[7] Berikut kutipannya :

“Apa Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan dari pada adatnya orang Eropa kebanyakan?” Tanya Controleur
      “Mana mungkin!” kata Sergeant dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.
“Ha,ha!” Controuleur  tertawa, seolah-olah mempermalukannya. “Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi koloniaal (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak.

b.      Alur

c.       Tokoh dan Penokohan

Tokoh-tokoh dalam novel “Student Hidjo” diantaranya:
1.      Hidjo = Pemuda berumur 18 tahun, wataknya pendiam, berbudi pekerti baik, menurut pada orang tua, gila membaca, meski begitu ia mudah bergaul bahkan terkadang gampang terpengaruh. Dia seorang anak saudagar kaya bernama Raden Protonojo dan Raden Nganten.
“… Kalau saya pikir, besok atau tujuh tahun lagi, cukuplah kedua anak itu dikawinkan. Sebab saat ini Hidjo baru berumur 18 tahun dan Biroe 13 tahun.” (5)
“Ayah, Ibu, dan saudara lelaki saya cinta sekali dengan Tuan Hidjo. Sebab dia anak pintar dan halus budi bahasanya. Kalau dia tidak ditanya, dia tidak berkata. Dia pendiam sekali.” (39)
“Ya, sebab dia lebih suka membaca bukunya daripada untuk tulis-menulis,” kata Biroe dengan panjang lebar. “dia kalau dirumah tidak pernah meninggalkan bukunya. Saya khawatir kalau besok dia gila, sebab terlalu banyak belajar.” (41)
“Malam itu pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya di Koninklijke Schowburg.” (89)

2.      Raden Potronojo = Ayah dari Hidjo, ia sosok ayah yang sangat memperhatikan masa depan Hidjo, sifatnya baik, penyayang, dan bijaksana
“Benar, Hidjo sudah tamat belajarnya di HBS. Tetapi, karena rupanya dia sangat maju dalam belajarnya dan pikirannya tajam, maka sebaiknya dia saya suruh meneruskan belajarnya agar menjadi ingenieur di Negri Belanda.” (2)
“O, perkara itu tidak perlu kita pikirkan,” jawab raden Potronojo. “Sebab perkara hidup matinya seseorang itu hanya tergantung kepada Tuhan.” (2)

3.      Raden Nganten = Ibu Hidjo, seorang yang sangat takut terhadap pengaruh budaya barat yang bebas, sangat menyayangi Hidjo sehingga timbul kehawatiran yang berlebihan.
“Kanda… Kanda.. Bagaimana mungkin anakmu kamu kirim ke Negeri Belanda. Begitulah, Raden Nganten Potronojo menangis di depan suaminya, waktu ia dikasih tahu bahwa anak lelakinya akan dikirim ke Belanda untuk sekolah ingenieur.” (1)
“Tetapi Kanda, kata Raden Nganten sambil menyapu airmatanya, waktu ini di Eropa baru terjadi peperangan. Saya khawatir kalau Hidjo mendapat malapetaka di perjalanan. Sebab orang berkata, waktu ini perjalan ke Eropa sedang sulit. Juga saya mendengar kabar banyak kapal yang tenggelam lantaran kena tambang atau dibinasakan oleh kapal selam.” (2)
“Kalau kamu pergi ke Negri Belanda, siapa yang saya lihat saban hari  Djo! Djo!” kata ibu Hidjo sambil menangis sangat keras. “Anakku cuma kamu s..e..n..d..i..r..iiii!!!”(7)

4.      R.A. Biroe = Gadis cantik berumur 13 tahun, berbudi pekerti baik, menurut kepada orang tua, lembut dan sopan, meski begitu ia bukan gadis kaku. Dia merupakan sepupu dari Hidjo yang dijodohkan sejak kecil.
“Waktu Biroe baru membaca separo, wajahnya bertambah manis. Sesuadah Biroe membaca surat itu, dengan cepat ia meletakan surat itu diatas meja dan tidak berani melihat wajah R.M. Wardojo. Ini satu bukti bahwa surat itu sangat cocok dengan keinginannya.” (156)
“Lantaran mendengar perkataan Hidjo, dengan berani Raden Ajeng melemparkan selendang suteranya tepat mengenai dada Hidjo. Hal itu menunjukkan perkataan Hidjo membikin hatinya bahagia.” (16)

5.      R.A. Woengoe = Gadis cantik yang merupakan adik dari teman sekelas Hidjo, yaitu R.M. Wardojo. Woengoe berwatak lembut, sopan, anggun, mudah bergaul dan berbudi baik.
“waktu saya baru lulus dari HBS, saya datang ke tempat teman sekolah saya, yaitu anaknya Regent Djarak. Kedatangan saya di kabupaten itu dikenalkan oleh teman saya kepada saudara perempuannya.” (30)
“Ini suatu tanda, saudara perempuan teman saya, Raden Ajeng Woengoe kebiasaan dan sikapnya sangat halus sekali. Dan boleh jadi lebih halus dari kebiasaan dan sikapnya Biroe.” (30)
“Saya senang sekali berkumpul dengan orang seperti Tuan Hidjo itu, kata Raden Woengoe sambil memegang kalung zamrudnya. Sebab kata-katanya dapat dirasakan dan mengandung nasihat yang bagus-bagus.” (40)

6.      R.M. Wardojo = Merupakan kakak dari Raden Ajeng Woengoe, berwatak lembut, pemalu, sopan, mudah bergaul dan berbudi baik.
“Meskipun ia menaruh hati kepada Biroe, tetapi hal itu selalu disembunyikan, jangan sampai ada orang yang mengetahuinya.” (63)
“Mobil yang membawa kedua Rden Ajeng dan Raden Mas Wardojo berjalan di depan. Tetapi Raden Mas duduk jejer dengan sopir mobil.”(64)
“Dimana saya mesti duduk?” Tanya raden mas kepada saudara perempuannya, waktu dia masih berdiri dimukanya.” (65)

7.      Betje = Gadis Belanda yang sangat tulus mencintai Hidjo, suka menggoda, cenderung bebas dalam bergaul, ambisius, dan melakukan apa yang dia suka.
“Kalau kamu ke Tanah Jawa, saya ikut.!” Jawab Betje setelah dia mendengarkan cerita Hidjo. Dan airmatanya bercucuran menunjukkan tanda kesedihannya.” (169)
“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.” (96)
Nee, saya lebih suka pergi berdua saja dengan Tuan!” jawab Betje mengandung maksud. (92)
 “Biarin, saya lebih suka jadi perempuan Hindia daripada jadi perempuan Belanda!” (55)

8.      Willem Walter adalah anak controuller (pengawas) Belanda di Djarak. Dia adalah tokoh yang paling
d.      Setting
1.      Tempat
Selama belajar di Negeri Belanda 
e.       Gaya Bahasa
Novel “Student Hidjo” menggunakan gaya bahasa Melayu pasar, karena novel ini terbit di abad ke-20, dimana pada masa itu perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang bumiputra dengan menggunakan gaya bahasa “melayu pasar”. Bacaan yang ditulis dalam melayu pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-hari yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tata bahasa. Perkembangan produk bacaan bumiputra sangat didukung dengan maraknya industri pers pada awal abad ke-20.[8]
f.       Sudut Pandang
g.      Amanat
Jika belajar harus sungguh-sungguh  jangan  mudah tergoda oleh lingkungan. Kebaikan orang harus dibalas dengan kebaikan pula.

E.     Konflik Sosial yang Terjadi dalam Naskah Student Hidjo
a.      Balai Pustaka
Nama penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena sekarang Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat ( Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial Belanda pada 14 September 1908.[9]
Dalam Rangka penerbitannya, Balai Pustaka mempunyai ukuran-ukuran tertentu, sesuai dengan keadaan yang terdapat di tanah jajahan. Teeuw mengatakan, bahwa Balai Pustaka mengambil sikap yang amat netral dalam persoalan-persoalan agama (dan ini berarti bahwa buku-buku yang mengandung unsure-unsur keagamaan tidak akan diterima untuk diterbitkan); pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak dapat diterima; demikian pula hasil-hasil sastra yang bersifat “cabul”.
Kriteria Balai Pustaka dalam menyensor naskah-naskah yang diterbitkannya:
1.      Anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah tiruan kejadian-kejadain penting dalam kehidupan manusia, yang dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati.
2.      Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel unsure-unsur formal haarus memiliki hubungan yang erat.
3.      Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis secara realistis.
4.      Penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh penerbit itu adalah cara hitam putih.
novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka mempunyai ciri-ciri seperti yang sudah disebutkan tadi.

Dalam novel Balai Pustaka, tokoh-tokoh Belanda yang ditampilkan boleh dikatakan semuanya terhormat dan berbudi.[10] Sedangkan dalam novelnya, Marco secara berani mengontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.[11]
Terdapat kutipan dari novel “Student Hidjo” yang
“Apa Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan dari pada adatnya orang Eropa kebanyakan?” Tanya Controleur
      “Mana mungkin!” kata Sergeant dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.
“Ha,ha!” Controuleur  tertawa, seolah-olah mempermalukannya. “Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi koloniaal (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak.

b.      Mas Marco Kartodikromo dalam Pers Pergerakan
Mas Marco memang merupakan seorang jurnalis yang produktif pada masanya. Ia banyak menghasilkan karya-karya baik nonfiksi maupun fiksi. Hal ini mungkin dikarenakan oleh dua faktor yaitu, pertama, terjunnya ia dalam jurnalisme telah mengasahnya dalam menulis. Kedua, ia hidup pada zaman bangkitnya pergerakkan, yang ditandai dengan mencuatnya surat-surat kabar dan jurnal, rapat-rapat dan pertemuan. Bahkan pemogokan-pemogokan pada pergantian abad ini, memang dunia jurnalisme pribumi sedang muncul ke permukaan. Zaman ini pribumi seakan menemukan alat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Memang masih terdapat sebagian rakyat pribumi yang masih melakukan perlawanan dengan senjata, namun beberapa orang pribumi lebih senang dan merasa efektif bila perlawanan tersebut dilakukan melalui surat kabar atau perang suara.[12]


[1] KBBI 1996 dalam, Wahyudin Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141
[2] Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 111.
[3] Ensiklopedia sastra, hlm. 588
[4] Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999), hlm.58
[5] Ibid., hlm. 66
[6] Ibid., hlm 66
[7] Yudiono K.S hlm 111
[8] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 24
[9] Ibid, hlm. 66.
[10] Edwina Satmoko Tanojo mahasiswi FSUI dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul Ciri-Ciri “Bacaan Liar
[11]file:///D:/Indahnya%20Sastra%20Indonesia%20%20Analisis%20Novel%20%27Student%20Hidjo%27%20Karya%20Marco%20Kartodikromo.htm
[12] Hlm. 30

2 komentar:

  1. Nano Titanium Aluminium – C2 Wire & 9.5mm
    Made from an alloy of nanocultured copper oxide, Naloxane oxide titanium bolts is extremely titanium razor durable titanium jewelry piercing and has a iron titanium token great sense of titanium dive knife consistency. These

    BalasHapus