“STUDENT
HIDJO” PERINTIS SASTRA PERLAWANAN YANG DIPINGGIRKAN
Analisis novel “Student Hidjo”
karya Marco Kartodikromo
Oleh. Fitria Ulfah, Ditri Lestari
Sutopo, dan Dede Zakiyah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya
dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang dibahas tidak
sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu.
Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian,
penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar,
gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek
tertentu dari unsur intrinsik tersebut.[1]
Student Hidjo karya
Mas Marco Kartodikromo, adalah sebuah novel yang ditulis pada dekade kedua abad
20, yaitu sekitar tahun 1918. Novel ini merekam semangat zaman kala itu,
bersifat pergerakan bumiputera mencari sikap politik yang baru. Pada awal dari
cerita novel ini menceritakan tentang Hidjo,
seorang intelektual pribumi. Selain mengungkapkan kisah percintaan antar
tokohnya, Mas Marco pun secara lugas menunjukkan keberpihakannya kepada kaum
pribumi. Di sini Ia memunculkan tokoh Controleur
Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan
kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia.
Student Hidjo
mengguncangkan dunia kesusastraan saat itu. Mas Marco mengkontraskan kehidupan
di Nederland dan Hindia Belanda.
Selain itu, novel ini dianggap sebagai sebuah Sastra Perlawanan. Sastra yang
melawan arus besar sastra Balai Pustaka pada saat itu. Namun perkembangan novel
ini mendapat hambatan. Dengan isinya yang melawan pemeritahan kolonial Belanda,
Student Hidjo tidak lulus sensor dari
penerbit Balai pustaka. Hal ini membuat Student
Hidjo dianggap “bacaan liar” atau kesusastraan Indonesia yang tidak resmi.
Sastra ini berjenis realisme sosialis.
Penelitian mengenai “bacaan liar” pernah dilakukan
secara komprehensif oleh Edwina Satmoko Tanojo mahasiswi FSUI dalam skripsinya
yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul Ciri-Ciri
“Bacaan Liar”.
Dalam makalah ini, penulis akan menghadirkan sosok
Marco Kartodikromo dan apa saja peranannya dalam pers dan pergerakan Indonesia.
Selanjutnya penulis akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan “bacaan
liar”, mengapa Student Hidjo
digolongkan sebagai bacaan liar. Terakhir penulis akan coba menganalisis novel Student Hidjo dengan pendekatan
struktural dan sosiologi sastra yang bertujuan untuk mengetahui unsur
interinsik dari karya itu sendiri, juga peristiwa apa saja yang terjadi sekitar
tahun 1918 yang berkaitan dengan kisah dalam novel tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sosok Marco Kartodikromo dan peranannya dalam pers dan pergerakan Indonesia?
2. Bagaimana
sebuah bacaan dapat disebut sebagai “bacaan liar”?
3. Bagaimana
analisis novel Student Hidjo menggunakan
pendekatan struktural dan sosiologi sastra?
4. Bagaimana
konflik sosial yang terjadi di dalam naskah Student
Hidjo?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui sosok Marco Kartodikromo dan
perananya dalam pers dan pergerakan Indonesia
2. Untuk
mengetahui bacaan yang termasuk dalam “bacaan liar”
3. Untuk
mengetahui analisis novel Student Hidjo menggunakan
pendekatan struktural dan sosiologi sastra
4. Untuk
mengetahui konflik sosial yang terjadi dalam naskah Student Hidjo
D. Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan makalah
ini adalah dengan metode pustaka yang berhubungan dengan Student Hidjo dan “bacaan liar”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Marco Kartodikromo
Mas
Marco Kartodikromo, kelahiran Cepu (Jawa Tengah) tahun 1890 dan meninggal dalam
pengasingan di Digul (Irian Jaya), 18 Maret 1932. Dia pernah menjadi Sekretaris
Sarekat Islam Solo, dan ikut mendirikan Inlandsche Journalisten Bond bersama
Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Sosrokartono. Pernah bermukim di Negeri Belanda
tahun 1916-1917 dan beberapa kali dipenjarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
karena perjuangannya sebagai tokoh komunis.[2]
Karyanya : Mata Gelap (novel, 1914), Sair-Sair Rempah (kumpulan sajak, 1918),
Student Hidjo (novel, 1919), Rasa Merdika (novel, 1924), dan Cermin Buah Keroyalan (novel, 1924).[3]
B. Sinopsis Student Hidjo
Kisah
diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke Belanda. Ayah Hidjo,
Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat
keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai
gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan
status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial.
Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas
anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.
Pendidikan
di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo.
Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan
"pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan
seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur
salah satu maatschapij yang
rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena
melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk
memutuskan tali cinta pada Betje.
Persoalan
menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih
sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng
Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir cerita, ketegangan
mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo
tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.
Rumus
perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara
Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang
menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan
tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa
mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe
menolak cinta Controleur Walter.
Selain
itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka matanya. Ia melihat bahwa
di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak "setinggi" yang ia
bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah
orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil
dilakukan di Hindia.
C. Bacaan
Liar
D. Analisis
Struktural Novel “Student Hidjo”
Pendekatan struktural adalah
a. Tema
Novel
Mas Marco “Student Hidjo” diterbitkan di luar Balai Pustaka, bertema
borjuis-kolonialis yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan
sosial, terutama dari pandangan sosialis. Ini berbeda dengan semangat kritik
para penulis Balai Pustaka yang lebih empirik, yakni membahas soal kebiasaan
lama sepanjang itu menyangkut kepentingan zaman baru (percintaan dan
perkawinan).[4]
Masalah
kekayaan, pangkat, jaminan hidup, yang rupanya mulai menjadi nilai material
penting dalam hidup masyarakat modern, yang tumbuh tahun 1920-an dan 1930-an,
tercermin dalam ungkapan intelektual para pengarang Indonesia.[5]
“Di
depan Sriwedari, orang-orang yang hendak membeli karcis masuk sudah
beribu-ribu. Meskipun begitu Raden Hidjo bisa mendapatkan karci lebih dahulu.
Karena ditolong Oppas yang bertugas
dikeramaian itu.”
Tema
pada karya-karya Mas Marco, kritik sosial muncul lebih galak dan tajam. Ia
tidak mempermaalahkan sikap generasi tua modern yang “borjuistis” atau generasi
tua yang “gila pangkat”, tetapi lebih pada sistem kolonial yang kapitalistik
dan borjuistik. Tidak heran kalau novel-novel begini kurang berkembang dan
digolongkan “bacaan liar” oleh aparat kolonial.[6]
Sistem kolonial yang kapitalistik dan borjuistik dalam novel “Sudent Hidjo”
digambarkan dengan perubahan watak dan sikap tokoh orang Belanda yang setelah
berada di Indonesia mereka menjadi sombong dan merendahkan derajat orang
Indonesia, padahal di negeri asalnya mereka adalah orang rendahan.[7]
Berikut kutipannya :
“Apa
Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih
sopan dari pada adatnya orang Eropa kebanyakan?” Tanya Controleur
“Mana mungkin!” kata Sergeant dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.
“Ha,ha!” Controuleur tertawa, seolah-olah mempermalukannya.
“Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi koloniaal (serdadu), sebuah pekerjaan
yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak.
b. Alur
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh
dalam novel “Student Hidjo” diantaranya:
1. Hidjo = Pemuda berumur
18 tahun, wataknya
pendiam, berbudi pekerti baik, menurut pada orang tua, gila membaca, meski begitu
ia mudah bergaul bahkan terkadang gampang terpengaruh. Dia seorang anak
saudagar kaya bernama Raden Protonojo dan Raden Nganten.
“… Kalau
saya pikir, besok atau tujuh tahun lagi, cukuplah kedua anak itu dikawinkan.
Sebab saat ini Hidjo baru berumur 18 tahun dan Biroe 13 tahun.” (5)
“Ayah,
Ibu, dan saudara lelaki saya cinta sekali dengan Tuan Hidjo. Sebab dia anak
pintar dan halus budi bahasanya. Kalau dia tidak ditanya, dia tidak berkata.
Dia pendiam sekali.” (39)
“Ya, sebab
dia lebih suka membaca bukunya daripada untuk tulis-menulis,” kata Biroe dengan
panjang lebar. “dia kalau dirumah tidak pernah meninggalkan bukunya. Saya
khawatir kalau besok dia gila, sebab terlalu banyak belajar.” (41)
“Malam itu
pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya di Koninklijke Schowburg.” (89)
2. Raden Potronojo = Ayah dari Hidjo,
ia sosok ayah yang sangat memperhatikan masa depan Hidjo, sifatnya baik,
penyayang, dan bijaksana
“Benar,
Hidjo sudah tamat belajarnya di HBS. Tetapi, karena rupanya dia sangat maju
dalam belajarnya dan pikirannya tajam, maka sebaiknya dia saya suruh meneruskan
belajarnya agar menjadi ingenieur di
Negri Belanda.” (2)
“O,
perkara itu tidak perlu kita pikirkan,” jawab raden Potronojo. “Sebab perkara
hidup matinya seseorang itu hanya tergantung kepada Tuhan.” (2)
3. Raden Nganten = Ibu Hidjo,
seorang yang sangat takut terhadap pengaruh budaya barat yang bebas, sangat menyayangi Hidjo
sehingga timbul kehawatiran yang berlebihan.
“Kanda… Kanda.. Bagaimana mungkin
anakmu kamu kirim ke Negeri Belanda. Begitulah, Raden Nganten Potronojo
menangis di depan suaminya, waktu ia dikasih tahu bahwa anak lelakinya akan
dikirim ke Belanda untuk sekolah ingenieur.”
(1)
“Tetapi Kanda, kata Raden Nganten
sambil menyapu airmatanya, waktu ini di Eropa baru terjadi peperangan. Saya
khawatir kalau Hidjo mendapat malapetaka di perjalanan. Sebab orang berkata,
waktu ini perjalan ke Eropa sedang sulit. Juga saya mendengar kabar banyak
kapal yang tenggelam lantaran kena tambang atau dibinasakan oleh kapal selam.”
(2)
“Kalau kamu pergi ke Negri Belanda,
siapa yang saya lihat saban hari Djo!
Djo!” kata ibu Hidjo sambil menangis sangat keras. “Anakku cuma kamu
s..e..n..d..i..r..iiii!!!”(7)
4. R.A. Biroe = Gadis cantik
berumur 13 tahun, berbudi pekerti baik, menurut kepada orang tua, lembut dan sopan, meski begitu ia
bukan gadis kaku. Dia merupakan sepupu dari Hidjo yang dijodohkan sejak kecil.
“Waktu
Biroe baru membaca separo, wajahnya bertambah manis. Sesuadah Biroe membaca
surat itu, dengan cepat ia meletakan surat itu diatas meja dan tidak berani
melihat wajah R.M. Wardojo. Ini satu bukti bahwa surat itu sangat cocok dengan
keinginannya.” (156)
“Lantaran
mendengar perkataan Hidjo, dengan berani Raden Ajeng melemparkan selendang
suteranya tepat mengenai dada Hidjo. Hal itu menunjukkan perkataan Hidjo
membikin hatinya bahagia.” (16)
5. R.A. Woengoe = Gadis cantik
yang merupakan adik dari teman sekelas Hidjo, yaitu R.M. Wardojo. Woengoe berwatak
lembut, sopan, anggun, mudah bergaul dan berbudi baik.
“waktu
saya baru lulus dari HBS, saya datang ke tempat teman sekolah saya, yaitu
anaknya Regent Djarak. Kedatangan
saya di kabupaten itu dikenalkan oleh teman saya kepada saudara perempuannya.”
(30)
“Ini suatu
tanda, saudara perempuan teman saya, Raden Ajeng Woengoe kebiasaan dan sikapnya
sangat halus sekali. Dan boleh jadi lebih halus dari kebiasaan dan sikapnya
Biroe.” (30)
“Saya
senang sekali berkumpul dengan orang seperti Tuan Hidjo itu, kata Raden Woengoe
sambil memegang kalung zamrudnya. Sebab kata-katanya dapat dirasakan dan
mengandung nasihat yang bagus-bagus.” (40)
6. R.M. Wardojo = Merupakan kakak
dari Raden Ajeng Woengoe, berwatak lembut, pemalu, sopan, mudah
bergaul dan berbudi baik.
“Meskipun
ia menaruh hati kepada Biroe, tetapi hal itu selalu disembunyikan, jangan
sampai ada orang yang mengetahuinya.” (63)
“Mobil
yang membawa kedua Rden Ajeng dan Raden Mas Wardojo berjalan di depan. Tetapi
Raden Mas duduk jejer dengan sopir mobil.”(64)
“Dimana
saya mesti duduk?” Tanya raden mas kepada saudara perempuannya, waktu dia masih
berdiri dimukanya.” (65)
7. Betje = Gadis Belanda
yang sangat tulus
mencintai
Hidjo, suka menggoda, cenderung bebas
dalam bergaul, ambisius,
dan melakukan apa yang dia suka.
“Kalau
kamu ke Tanah Jawa, saya ikut.!” Jawab Betje setelah dia mendengarkan cerita
Hidjo. Dan airmatanya bercucuran menunjukkan tanda kesedihannya.” (169)
“Mari
kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya
berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.” (96)
“Nee, saya lebih suka pergi berdua saja
dengan Tuan!” jawab Betje mengandung maksud. (92)
“Biarin, saya lebih suka jadi perempuan Hindia
daripada jadi perempuan Belanda!” (55)
8. Willem Walter adalah anak
controuller (pengawas) Belanda di Djarak. Dia adalah tokoh yang paling
d. Setting
1. Tempat
Selama
belajar di Negeri Belanda
e. Gaya Bahasa
Novel
“Student Hidjo” menggunakan gaya bahasa Melayu pasar, karena novel ini terbit
di abad ke-20, dimana pada masa itu perkembangan produksi bacaan yang
dilahirkan oleh orang-orang bumiputra dengan menggunakan gaya bahasa “melayu
pasar”. Bacaan yang ditulis dalam melayu pasar mempergunakan bahasa lisan
sehari-hari yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih
bebas dari ikatan tata bahasa. Perkembangan produk bacaan bumiputra sangat
didukung dengan maraknya industri pers pada awal abad ke-20.[8]
f. Sudut Pandang
g. Amanat
Jika belajar harus sungguh-sungguh
jangan mudah tergoda oleh lingkungan. Kebaikan orang harus dibalas dengan
kebaikan pula.
E. Konflik
Sosial yang Terjadi dalam Naskah Student
Hidjo
a.
Balai
Pustaka
Nama
penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar
Indonesia karena sekarang Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar
yang banyak memproduksi berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan
selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang
merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat ( Commissie voor de Indlandsche School en
Volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial Belanda pada 14
September 1908.[9]
Dalam
Rangka penerbitannya, Balai Pustaka mempunyai ukuran-ukuran tertentu, sesuai
dengan keadaan yang terdapat di tanah jajahan. Teeuw mengatakan, bahwa Balai
Pustaka mengambil sikap yang amat netral dalam persoalan-persoalan agama (dan
ini berarti bahwa buku-buku yang mengandung unsure-unsur keagamaan tidak akan
diterima untuk diterbitkan); pandangan politik yang bertentangan dengan
pemerintah juga tidak dapat diterima; demikian pula hasil-hasil sastra yang
bersifat “cabul”.
Kriteria
Balai Pustaka dalam menyensor naskah-naskah yang diterbitkannya:
1. Anggapan Balai Pustaka bahwa novel
adalah tiruan kejadian-kejadain penting dalam kehidupan manusia, yang dapat
mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati.
2. Balai Pustaka berpendapat bahwa
dalam novel unsure-unsur formal haarus memiliki hubungan yang erat.
3. Balai Pustaka beranggapan bahwa
novel ditulis secara realistis.
4. Penokohan yang ternyata dianggap
lazim oleh penerbit itu adalah cara hitam putih.
novel-novel yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka mempunyai ciri-ciri seperti yang sudah disebutkan tadi.
Dalam novel Balai Pustaka,
tokoh-tokoh Belanda yang ditampilkan boleh dikatakan semuanya terhormat dan
berbudi.[10]
Sedangkan dalam novelnya, Marco secara berani mengontraskan kehidupan di
Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian
dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.[11]
Terdapat kutipan dari novel “Student
Hidjo” yang
“Apa
Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih
sopan dari pada adatnya orang Eropa kebanyakan?” Tanya Controleur
“Mana mungkin!” kata Sergeant dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.
“Ha,ha!”
Controuleur tertawa, seolah-olah mempermalukannya.
“Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi koloniaal (serdadu), sebuah pekerjaan
yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak.
b.
Mas
Marco Kartodikromo dalam Pers Pergerakan
Mas
Marco memang merupakan seorang jurnalis yang produktif pada masanya. Ia banyak
menghasilkan karya-karya baik nonfiksi maupun fiksi. Hal ini mungkin
dikarenakan oleh dua faktor yaitu, pertama, terjunnya ia dalam jurnalisme telah
mengasahnya dalam menulis. Kedua, ia hidup pada zaman bangkitnya pergerakkan,
yang ditandai dengan mencuatnya surat-surat kabar dan jurnal, rapat-rapat dan
pertemuan. Bahkan pemogokan-pemogokan pada pergantian abad ini, memang dunia
jurnalisme pribumi sedang muncul ke permukaan. Zaman ini pribumi seakan
menemukan alat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Memang
masih terdapat sebagian rakyat pribumi yang masih melakukan perlawanan dengan
senjata, namun beberapa orang pribumi lebih senang dan merasa efektif bila
perlawanan tersebut dilakukan melalui surat kabar atau perang suara.[12]
[1]
KBBI 1996 dalam, Wahyudin Siswanto, Pengantar
Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141
[2]
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 111.
[3]
Ensiklopedia sastra, hlm. 588
[4] Jakob
Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia
1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999), hlm.58
[5] Ibid., hlm. 66
[6] Ibid., hlm 66
[7]
Yudiono K.S hlm 111
[8]
Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah
Sastra Indonesia, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 24
[9] Ibid, hlm. 66.
[10] Edwina Satmoko
Tanojo mahasiswi FSUI dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1981 dengan
judul Ciri-Ciri “Bacaan Liar
[11]file:///D:/Indahnya%20Sastra%20Indonesia%20%20Analisis%20Novel%20%27Student%20Hidjo%27%20Karya%20Marco%20Kartodikromo.htm
[12]
Hlm. 30
ide pokoknya ada kah?
BalasHapusNano Titanium Aluminium – C2 Wire & 9.5mm
BalasHapusMade from an alloy of nanocultured copper oxide, Naloxane oxide titanium bolts is extremely titanium razor durable titanium jewelry piercing and has a iron titanium token great sense of titanium dive knife consistency. These